The Thing I Love About You

twentycube
5 min readFeb 24, 2022
A part of ‘The Baby Project’ alternate universe, originally posted on Twitter.

Before you start reading my stupid entry further, no. It’s not what you think it is.

I’ve known Naila sinceforever. Gue nggak yakin Naila inget atau nggak, tapi dari masih playgroup pun gue udah satu sekolah sama dia. The thing is, we never really knew each other until 8th grade. Well, not for her, at least.

According to my memory, dari kita masih SD pun Naila udah jadi a part of the popular kids di sekolah. SD, SMP, sampai SMA pun, Naila selalu ada di circle teratas.

Those kind of circle where all of the members are good-looking, above average smart, rich, and popular. Sounds cliche? Yes. But that’s how the social status in school works, at the very least, my school.

Nggak kaya Naila yang dari kecil udah jadi bagian dari anak-anak ‘populer’, gue baru mulai dikenal orang-orang pas kelas 9.

Sejak masuk SMP, gue disaranin sama bokap gue untuk mulai fokus ke satu bidang non-akademis, and I choose sport. Soccer, to be exact. Pas kelas 9, di tahun terakhir gue bisa main untuk tim futsal SMP gue, gue dan tim gue berhasil bawa piala hasil tanding di cup yang diadain sama sekolah rival gue.

Karena pada saat itu gue lagi jadi kaptennya, people always brought up my name everytime they talk about the winning. And that’s how I received the popularity I have right now. Anak-anak yang dari awal udah SMP di sekolah gue rata-rata nggak pindah ke sekolah lain pas SMA, that’s why the popularity last pretty long.

Back to Naila. As I said, we never really knew each other before 8th grade. Gue tau dia, tapi dia gatau gue. Who doesn’t know Naila? Everyone has a crush on her. Boys want to date her meanwhile the girls want to be her friends or see her as a threat.

Heck, even I used to have a crush on her.

Keyword: Used to.

You might heard the story already because Naila tells that story to literally everyone at school. Sekarang semua orang di sekolah tau kalau gue sama Naila nggak akur, even the teachers. I’m pretty sure the janitors and the ibu-ibu kantin(s) also knows that.

You heard Naila’s version of the story, but you haven’t heard mine. So this is how it actually went.

Seperti biasa, sekolah kita lagi ngadain class meeting sebagai bentuk selebrasi ujian kenaikan kelas yang udah selesai. Biasanya, sambil nunggu akumulasi nilai rapot selesai, murid-murid tetep disuruh ke sekolah untuk remedial.

Tapi, supaya semuanya masuk tanpa terkecuali, sekolah ngadain event yang namanya class meeting. It’s a pretty festive event. Banyak lomba-lomba antar kelas, banyak bazaar, kita juga udah boleh pulang sebelum jam 12, and most importantly, no classes. Jadi, semua orang pada semangat untuk masuk.

That day, gue dipilih untuk ngewakilin kelas gue di lomba futsal antar kelas.

Waktu kelas 8, gue sekelas sama Kelvin yang juga salah satu temen deketnya Naila. Kelvin and Naila were friends ever since elementary school. Gue juga baru kenal deket sama Kelvin pas SMP. Soalnya gue waktu SD bener-bener definisi ansos. To the point they didn’t even know I went to the same school as them.

Karena Kelvin juga ikut tanding, Naila dan temen-temennya yang lain pun ikut nonton di pinggir lapangan. Pada saat itu, gue masih naksir Naila. Jadi waktu gue liat ada Naila di antara orang-orang yang nonton pertandingan kita, I was a bit nervous.

A lot, actually.

Throughout the game, fokus gue kebagi dua. Antara ke pertandingan sesungguhnya, sama ke Naila. Sampai akhirnya gue pun nggak ngeh kalau salah satu temen gue lagi mau oper bola yang ada di bawah kendali dia ke gue. Karena gue ngelamun, akhirnya gue nggak keburu nahan bola yang dioper sama temen gue itu and guess where it ends up? Naila’s head.

Gue bukan tipe orang yang gampang merasa bersalah, apalagi kalau itu bukan salah gue. But that day, I remember feeling so guilty to the point I got to her faster than Kelvin.

Long story short, karena Naila pingsan plus mimisan dan nggak bangun-bangun, akhirnya dia dibawa ke rumah sakit deket sekolah. I waited for her with her friends. Gue tetep nungguin walaupun pada saat itu gue nggak kenal siapapun selain Kelvin.

Gue ngerasa gue udah sacrifice a lot buat dia. Tapi, pas dia bangun, the first thing she did was to blame everything on me. Without even asking for an explanation.

Yang gue heran, yang main futsal pada hari itu ‘kan bukan gue doang. Kelvin juga main, yang lain juga main. Terus kenapa yang dituduh gue doang? I was so pissed off sampai niat gue yang awalnya mau minta maaf ke dia begitu dia bangun nggak jadi gue lakuin.

We got into a fight or what people called as ‘adu bacot’ in the middle of the hospital, and that marks the day where I stopped liking her. But unlike Naila, I didn’t hate her. I just stopped liking her romantically (and maybe as a person too). But I don’t hate her.

Gue sadar Naila nggak suka gue. Dan nggak sukanya tuh bukan sekedar nggak suka aja. Banyak orang lain yang nggak suka juga sama gue, tapi tatapan orang yang nggak suka karena emang enek aja sama gue itu beda sama tatapan Naila ke gue.

Setelah kejadian itu, kita berdua yang sebelumnya hampir nggak pernah ada di satu tempat yang sama tiba-tiba sering banget secara ‘kebetulan’ dipertemukan.

Kita yang tiba-tiba sekelas pas kelas 9 padahal selama hampir 10 tahun gue satu sekolah sama dia gue nggak pernah sekalipun sekelas sama dia. Temen-temen deket kita yang tiba-tiba temenan sampai akhirnya gue sama Naila pun kepaksa harus ketemu satu sama lain lebih sering dari yang kita mau.

It’s a never-ending list.

Awalnya, Naila bener-bener nggak bereaksi sama sekali ke gue. She gave me a silent treatment for most of the time apalagi kalau nggak ada temen-temen kita. I can’t stand silent treatment the most, gue mending diteriakin sampai satu sekolah denger sekalian daripada didiemin.

With her staying silent, rasa bersalah gue mulai balik lagi. Gue mulai berandai-andai, kalau misalnya dulu gue nggak defensif dan minta maaf aja ke dia, kira-kira hubungan gue sama Naila sekarang gimana? Will Naila still hates me?

Walaupun gue sebenernya orang yang bodo amat-an, the thought of someone hating you that much until they don’t even want to speak to you lumayan ganggu buat gue.

So it became a mission of mine.

Gue mulai sengaja gangguin dia. Mulai dari diem-diem ngambil pulpen dia meskipun gue sebenernya ada pulpen, abis itu terang-terangan nyontek dia meskipun gue sebenernya udah tau semua jawabannya, and my personal favorite, narik tali rambut dia dari kuncirannya sampai lepas.

Semua perlakuan gue itu berhasil mancing reaksi dari Naila. Naila yang sebelumnya sama sekali nggak mau ngomong sama gue sekarang mulai sering ngomel ke gue.

Tatapan dia yang sebelumnya beda dari orang-orang lain yang nggak suka sama gue sekarang mulai normal. Normal dalam artian sama aja kaya orang-orang lain yang nggak suka sama gue.

Without me knowing, it became a need. The need to get a reaction from her. Anything but a silent treatment.

The thing I love about her is not her, but her reactions that made me feel a little bit better about myself.

Unlisted

--

--